Film Kim

time lapse photography of people walking on pedestrian lane
Photo by Mike Chai on Pexels.com

Filmisasi novel “Kim Ji-Young, Born 1982” (selanjutnya disebut film Kim) karya Cho Nam-joo (2016) bercerita, seperti banyak diulas (lihat misalnya ulasan Aulia Adam di www.tirto.id tayang 29 November 2019 berjudul “Kim Ji-young: Born 1982: Mengurai Patriarki Secara Gamblang”), tentang perempuan yang mengalami depresi lantaran tekanan sosial yang patriarkis dan kondisi psikis paska-melahirkan, yang keduanya bermuara pada satu kata: kerja. Celakanya, muara ini yang senyap dari perbincangan film itu. Umumnya pembacaan atau obrolan film tersebut lebih kerap membahas seputar feminisme. Saya sendiri, memahami feminisme sebagai cara berpikir yang muncul dari situasi konkrit yang berusaha mengurai dan mengatasi ketimpangan relasi kuasa yang mewujud dalam berbagai hal di dalam tubuh sosial. Kata kuncinya: “ketimpangan”. Ada banyak varian dalam feminisme sebab dalam sejarahnya, feminisme lahir dari kegelisahan atas situasi sosial dan pemikiran yang tidak tunggal. Sebutlah misalnya, ada feminisme marxis, feminisme kultural dan feminisme eksistensialis (lihat, “Feminist Thought” Putnam Tong, 2006). Tiga varian tersebut mungkin akan bertolakbelakang dengan respon penonton atas dramatisasi naratif yang disuguhkan film Kim. Alih-alih mengulang komentar umum tentang film tersebut, seusai menonton, yang muncul di benak saya justru hal lain. Belakangan selera industri film semakin hari semakin aneh saja. Narasi bernuansa ‘neotribal kapitalisme’ (saya pinjam istilah ini dari Elizabeth Rata, 1999, “The Theory of Neotribal Capitalism”) justru jadi daya tarik bagi penonton untuk mengamini pesan terselubung di film itu. Mungkin terdengar sok canggih, tapi saya belum nemu istilah yang tepat untuk menerjemahkan apa yang baru saya tonton. Yang dimaksud ‘neotribal kapitalisme’ adalah kapitalisme sebagai corak ekonomi yang menekankan akumulasi nilai lebih dengan praktik pemujaan pada ‘produktivitas’ (kerja, kerja, kerja!), kawin dengan sistem nilai yang dianggap sebagai dosa asal masyarakat tradisional, dalam hal ini patriarki, yang secara evolusionis mengalami regenerasi nilai sejak ratusan mungkin ribuan tahun silam, lantas menghasilkan situasi hybrid yang mewakili semangat era depresi, zaman di mana invididu-individu dikonstruksikan sebagai subyek rentan bak keramik yang gampang pecah. Individu tanpa individualitas. Subyek tanpa agensi (saya membayangkan komentar apa kira-kira yang keluar dari mulut eksistensialis macam Sartre bila menonton film ini). Secara fungsional, selain sebagai tontonan atau hiburan di kala senggang, narasi film Kim juga menjadi justifikasi moral bagi beroperasinya neotribal kapitalisme. Bagaimana bisa? Begini. Seperti halnya sistem kepercayaan yang secara sosiologis melahirkan kategori-kategori moral, ada surga ada neraka, ada setan ada malaikat, ada pahlawan dan pengkhianat, demikian pula kategori moral dalam kapitalisme. Kapitalisme sebagai corak ekonomi yang menghisap keringat pekerja dan hasrat terhadap akumulasi, juga menghasilkan kategori serupa untuk melanggengkan sistemnya – dalam film ini. Sepanjang narasi film, cerita hanya mengeksplorasi model relasi yang memposisikan kodrat perempuan dalam posisi rumit lantaran dihimpit oleh tradisi patriarki. Artinya, film ini mengasumsikan ketimpangan mula-mula disebabkan perbedaan laki-laki dan perempuan. Padahal ada yang lebih mendasar dari itu. Jika diamati dari sepanjang cerita film Kim (sebelum tiba pada akhir cerita) hanya ada dua definisi tentang kerja. Kerja penuh, dan kerja setengah hari. Cerita berpusat pada perempuan yang hidup di lingkungan patriarkis. Sementara karakter laki-laki, digambarkan kehidupannya dipenuhi oleh kerja, kerja dan kerja. Kerja sebagaimana orang kota di kantor-kantor dari pagi sampai malam. Lantas si perempuan depresi (eufimisme dari sakit), didera krisis identitas lantaran eksistensinya selain ditentukan oleh lingkungan sosial yang patriarkis, juga karena ia berhenti dari pekerjaan karena mesti mengasuh anak yang baru ia lahirkan. Setelah melahirkan, si perempuan disibukkan mengurusi soal domestik dan di sinilah depresi mulai muncul, dipicu perubahan drastis dari keseharian dan obsesi terhadap pekerjaan. Kategori moral yang membonceng pada narasi film Kim selain masalah ketimpangan lantaran adanya perbedaan kelamin seperti yang banyak diulas adalah: wajarnya yang namanya manusia ya bekerja. Inilah praktik normalisasi. Kerja seolah jadi misi utama sapiens diciptakan di muka bumi. Lantas jika demikian, apa bedanya dengan Bapak Jokowi yang senang mengumbar kata kerja, kerja, kerja?. Sialnya, pemahaman tentang kerja dalam film Kim mengalami penyusutan makna. Hanya ada dua arti tentang kata kerja. Kerja penuh waktu, dan kerja setengah hari. Dua-duanya diasosiasikan dengan kerja untuk orang lain di perkantoran jadi buruh-buruh berdasi. Sementara pekerjaan mengasuh anak sendiri, membereskan rumah sendiri, tidak dipandang sebagai aktivitas produktif yang bernilai – kecuali jika pekerjaan tersebut diserahkan ke orang lain dengan sistem upah. Manusia akan sehat kalau dia bekerja, bekerja pada perusahaan seperti gambaran tokoh laki-laki. Sebaliknya, manusia akan jatuh sakit kalau tidak bekerja, seperti si perempuan yang ada dalam posisi dobel minoritas. Pertama, karena ia perempuan yang hidup dalam lingkungan patriarkis. Kedua, karena ia sibuk mengurusi perkara domestik: mengasuh anak, bersih-bersih rumah, memasak, dkk, daripada bekerja untuk orang lain. Maka jadilah si perempuan ini sakit. Depresi. Untungnya pada akhir film, si sutradara terlintas menawarkan definisi ketiga tentang kerja, yaitu menulis sebagai katarsis, sebagai terapi. Meskipun tetap tidak sebanding dengan dominasi narasi dari keseluruhan bangunan cerita yang telah dirangkai. Entah mengapa ini mengingatkan saya pada prolog film yang lain;

“Kulihat orang-orang yang terkuat dan terpandai. Kulihat semua potensi ini. Dan kulihat itu disia-siakan. Seluruh generasi memompa gas, menunggu meja, atau jadi budak berdasi. Iklan membuat kita mengejar mobil dan pakaian, mengerjakan pekerjaan yang kita benci supaya kita bisa membeli barang-barang yang tidak kita butuhkan. Kita adalah anak-anak sejarah, tanpa tujuan atau tempat. Tak ada perang besar, tak ada depresi besar. Perang besar kita adalah spiritual. Depresi besar kita adalah hidup. Kita dibesarkan untuk percaya suatu hari jadi jutawan dan bintang rock, tapi sebenarnya tidak. Dan kita mempelajari fakta itu, dan kita menjadi sangat marah.” [Diperankan Brad Pitt di film “Fight Club”]