Covid-19

Bermula dari sebuah kota di Cina, kemunculan jenis virus baru yang dijuluki Covid-19 benar-benar memaksa manusia mengatur ulang relasi sosialnya. Dengan gejala demam, batuk-batuk menyerupai influenza biasa, menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) terhitung dari bulan Februari sampai 29 Maret 2020, virus tersebut telah menyebar ke 202 wilayah/negara di dunia, menginfeksi 575.444 orang dan menewaskan 26.654 nyawa. Wabah ini membuat puluhan negara melakukan pembatasan dengan menutup wilayahnya dan melokalisir tempat sebaran virus agar tidak meluas. Sebab si virus dapat menular hanya dengan sekali sentuhan saja. Lembaga Biologi Molekuler Eijkman melalui poster digital menginformasikan, virus itu mampu bertahan berhari-hari di permukaan benda padat seperti besi, alumunium, plastik, kayu, kertas bahkan di udara selama beberapa jam. Betapa mengerikan kematian yang disebabkan hanya lantaran bersentuhan dengan yang lain. Itulah kenapa anjuran menjaga jarak satu sama lain intens disosialisasikan, termasuk di Indonesia. Kantor-kantor dan lembaga pendidikan dari mulai SD sampai universitas mengubah pola belajar jarak jauh, beberapa diliburkan dan pekerjaan dialihkan di rumah masing-masing. Ujian Nasional yang rutin digelar setiap tahun dihapus. Pada minggu pertama karantina diri di rumah, saya mendapati berita tentang perantau di  kota besar yang memutuskan mudik ke kampung halaman. Dari berita yang melintas di Twitter misalnya, hanya dalam waktu tujuh hari jumlah orang mudik dari Ibukota yang pulang ke Wonogiri ada 13ribu lebih. Artinya, jumlah ini memberi gambaran potensi penyebaran virus menjadi semakin bertambah besar. Di Yogyakarta sendiri, menurut laman berita www.cnnindonesia.com, hingga 26 Maret 2020 ada 1000 lebih orang yang terdata tiba ke kota ini. Gubernur meminta para perangkat desa untuk melakukan pendataan terhadap warga yang baru datang, dan memohon pada warga tersebut agar melakukan karantina mandiri di rumah masing-masing. Beberapa desa di Yogya pun mulai memasang palang pintu penutup jalan menuju pemukiman sebagai antisipasi persebaran virus. Setiap orang dari luar, dilarang masuk. Kini, institusi kesehatan dan lembaga-lembaga di seluruh dunia sedang berkejaran dengan waktu. Seiring obat yang masih belum juga ditemukan, potensi pertumbuhan virus terus meluas. Dua minggu berita dalam negeri didominasi oleh bahaya virus dan jumlah orang tewas karenanya. Di beberapa tempat, praktik ritual keagaman terpaksa ditiadakan demi menekan jumlah penularan (meski pun masih ada juga kelompok masyarakat yang bersikeras tetap melaksanakannya). Banyak yang bisa diamati. Pemerintah yang menolak lockdown saat negara lain menerapkannya. Saya menduga keputusan itu didasarkan atas hitungan ekonomi belaka alih-alih kemanusiaan. Sebab merujuk UU No.6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan  pasal 52 ayat 1 tertulis: “Selama penyelenggaraan Karantina Rumah, kebutuhan hidup dasar bagi orang dan makanan hewan yang berada dalam Karantina Rumah menjadi tanggung jawab pemerintah pusat”. Alhasil, warga masyarakat yang bermukim di wilayah kota-kota besar dengan latar belakang ekonomi menengah memilih melakukan karantina mandiri saat kelompok warga dengan ekonomi rentan masih harus terus bekerja di tengah wabah. Seorang pemilik warung kopi langganan saya yang ramai setiap hari mendadak penjualannya anjlok berkeluh-kesah di media sosial lantaran tak ada pemasukan untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan para karyawannya. Dalam waktu singkat, lembaga kesehatan mengalami defisit peralatan medis karena jumlah pasien yang terus bertambah. Dari awal bulan Maret sejak diumumkannya virus ini masuk ke Indonesia sampai tanggal 29 Maret, ada 114 orang meninggal, dan 1285 yang baru terkonfirmasi terinfeksi. Lambannya gerak pemerintah menyediakan alat tes massal sampai bulan Maret hampir berakhir membuat banyak ahli menduga kalau data yang diumumkan oleh pemerintah hanyalah puncak gunung es, artinya banyak yang belum terdeteksi sehingga ini membuat sebaran virus kian cepat dan meluas. Sebagian masyarakat menumpahkan kepanikan dan kejengkelannya di media sosial. Dokter dan perawat pun turut terinfeksi dan meninggal di tengah terbatasnya infrastruktur kesehatan yang jauh dari memadai. Sebenarnya ini semua dapat diminimalisir seandainya pemerintah bertindak taktis dan cekatan sedari awal. Pada bulan-bulan lalu, saat wabah ini merebak di Cina dan mulai menjamah beberapa negara, para pemangku kebijakan mengumbar kelakar di media. Ada yang bilang Korona adalah singkatan dari “Komunitas Rondo (Janda) Mempesona”, “Korona tak masuk Indonesia karena izinnya susah” dan seterusnya. Bahkan kabarnya pemerintah sampai keluar anggaran puluhan miliar kepada influencer/buzzer untuk mengendalikan wacana publik. Menganjurkan orang berekreasi dengan menurunkan harga tiket pesawat, memanfaatkan peluang ekonomi dari sektor pariwisata. Lalu saat virus itu benar-benar masuk ke Indonesia dan dalam waktu singkat puluhan orang meninggal, fakta inilah yang menjadi sasaran kritik dan hujatan warga melalui media sosial. Nilai rupiah melorot mencapai 16ribu rupiah lebih. Swalayan di kota-kota mengalami antrian panjang karena setiap orang ingin mengamankan persediaan makanan selama karantina mandiri. Masker dan alat pembersih tangan langsung ludes dimana-mana karena sebagian besar masyarakat mulai panik. Kalau pun tersedia, harganya lebih mahal dari biasanya. Publik pun tergerak bereaksi dengan berbagi pengetahuan tentang cara membuat pembersih tangan sendiri. Beberapa orang ditangkap karena kedapatan memborong persediaan masker dan menjualnya dengan harga berlipat. Selama dua minggu lebih, perbincangan tentang virus terus menempati posisi teratas. Situasi kian menjengkelkan apalagi jika melihat sikap pemerintah yang biasanya tanggap kalau membahas perkara pembangunan, tiba-tiba gagap menghadapi wabah ini sampai intelijen pun harus diturunkan. Beragam analisa pun bermunculan dengan berbagai perspektif berusaha memahami peristiwa ini. Dari biopolitik, ekologi-politik, sosial, medis, budaya, agrikultur, historis, macam-macam. Muncul pula istilah-istilah baru di benak awam seperti ‘Herd immunity’ yang langsung menuai polemik. Ringkasan studi Daniel Jolley dan Pia Lamberty di www.theconversation.com melihat bahwa virus ini telah memicu munculnya teori-teori konspirasi di masyarakat, yang efeknya dapat mempengaruhi pengambilan keputusan seseorang dalam memilih pengobatan kesehatan, bahkan lebih jauh lagi, berpotensi memicu munculnya akar kekerasan. Seperti desas-desus yang tersebar liar di internet tentang pasien nomor 0, yang artinya si pembawa virus, diduga berawal dari seorang tentara Amerika. Di tengah situasi masyarakat yang mulai mengalami xenophobia, curiga kehadiran orang tak dikenal karena kawatir menularkan virus, penulis buku kondang “Sapiens”, Yuval Noah Harari, membagi kegelisahan dengan menyarankan solidaritas global sebagai jalan yang paling mungkin ditempuh untuk melewati wabah ini. Hal itulah yang kini dilakukan oleh tim medis Kuba dengan mendatangi Italia membantu pengobatan di sana. Sementara masyarakat satu-persatu mulai menutup daerahnya, yang lain bergerak dengan mengumpulkan donasi untuk kelompok paling membutuhkan. Kini, setelah dengan amat mudah menerabas batas-batas identitas, negara, ideologi dan kelas sosial, setiap detik virus itu terus memburu mangsa dengan menginfeksi lebih banyak lagi manusia, berkembang-biak dengan cepat menjamah wilayah yang sebelumnya barangkali hanya kita jumpai dalam film, menyentak kesadaran.