Keadilan di Mulut Meriam

“Ekonomi kolonial yang lahir dari perkawinan antara ekonomi dengan politik itu adalah suatu ekonomi.., yang kesemuanya dilakukan di bawah bayang-bayang mulut meriam” — Clifford Geertz.

Meriam adalah salah satu jenis senjata populer di masa kolonial, yang juga kerap disebut-sebut oleh seorang pengarang, Pramoedya Ananta Toer, dalam novelnya berjudul “Arus Balik”. Sebagai senjata yang memiliki daya rusak tinggi dan mematikan, meriam dapat dibaca sebagai simbol perkawanan antara ekonomi, politik dan kekerasan.

Kata-kata Geertz di atas membawa jalan pikiran saya pada peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini. Masih dengan kalimat yang sama, jenis senjata itu akan lebih fleksibel dan relevan bila diganti dengan bedil. Dalam hal persenjataan, sudah menjadi hal yang wajar di mana negara-negara di dunia memberikan keistimewaan kepada aparatus keamanannya, yaitu institusi militer dan kepolisian, untuk shopping, memiliki dan menggunakan bedil secara legal dengan syarat dan kondisi tertentu. Tidak terkecuali di Indonesia.

Namun demikian, di balik perkakas yang bisa menjemput maut itu, dua institusi negara di atas akan kesulitan menjalankan perannya dengan baik apabila tidak memperoleh pasokan anggaran yang memadai. Dengan kata lain, keberadaan bedil yang tampaknya lebih kerap digunakan sebagai ajang pameran kekuasaan (contoh: ingat video viral beberapa waktu lalu ketika seorang anggota polisi mengokang senjata sambil berkata, “Pacar kamu ganteng? Kaya? Bisa gini, nggak?”) atau untuk menghadapi warga masyarakat sendiri, sangatlah bergantung pada alokasi anggaran.

Rerasan soal anggaran, khususnya di kepolisian, sekedar gambaran, pada tahun 2013 institusi kepolisian di Indonesia mendapatkan jatah anggaran sejumlah 45,6 triliun. Selang empat tahun kemudian, anggaran itu naik dua kali lipat menjadi 84 triliun dan kini di tahun 2020 berjumlah 104,7 triliun. Pertanyaan yang bisa dimunculkan dari kelipatan angka-angka itu adalah, adakah korelasi antara kenaikan anggaran dengan jumlah tindakan represif yang dilakukan oleh aparat terhadap warga sipil? Oh maaf, saya perbaiki pertanyaan saya, adakah hubungan antara kenaikan anggaran dengan kinerja aparat kepolisian dalam menjalankan tugas pokoknya?

Ada hal menarik ketika suatu kali saya menyimak bincang-bincang di forum IndoProgress yang tayang di youtube bertajuk “Menguatnya Posisi Polisi dan Militer di Masa Jokowi”. Seorang pembicara, Made Supriatma, mengamati fenomena institusi kepolisian tersebut sebagai gejala Orde Baru jilid dua. Bila dulu pada jilid satu Orde Baru punya anak emas bernama militer, maka kini anak emas itu adalah polisi. Selain dapat dilihat dari jumlah alokasi anggaran yang mengalami kenaikan setiap tahunnya, posisi anak emas ini juga bisa ditandai dari jumlah orang-orang berlatarbelakang kepolisian yang menduduki jabatan di pemerintahan.

Baiklah, mari beranjak dari perbincangan itu dan melihat realitas di lapangan, dari kejauhan. Pada hari Rabu 26 Agustus 2020, linimasa media sosial Twitter di Indonesia dikejutkan dengan video penangkapan tokoh adat Laman Kinipan oleh pihak kepolisian daerah Kalimantan Tengah. Dari rekaman video, terlihat beberapa anggota polisi bersenjata lengkap menangkap paksa Effendi Buhing di rumah kediamannya.

Siapakah gerangan Effendi Buhing? Menurut informasi yang beredar di berbagai media, Buhing adalah salah satu tokoh adat setempat yang menolak hutan adat dijadikan perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan.

Peristiwa itu tentu saja menggegerkan. Dalam waktu singkat, rekaman itu telah mengusik rasa keadilan dan membangkitkan simpati publik di media sosial, direspon oleh jejaring aktivis dan menjadi viral menyita perhatian media nasional. Kurang dari 24 jam sejak penangkapan tersebut, beredar video susulan Effendi Buhing di kantor polisi sedang mengkonfirmasi peristiwa yang menimpa dirinya.

Sebagai awam yang hanya mengikuti peristiwa itu dari berita, dugaan pertama yang muncul di benak saya, lewat video konfirmasi itu barangkali harapannya kegeraman publik yang dengan sendirinya mengarah pada pemerintah sekaligus merongrong kewibawaan penguasa baik di pusat maupun daerah dapat segera teredam, terkendali, sehingga situasi dapat kembali kondusif seperti sediakala. Belum lagi jika peristiwa itu dibaca dalam konteks sengkarut penanganan pandemi sekarang ini, ketika resesi ekonomi sudah nungguin di ujung hidung dan rancangan undang-undang kontroversial Omnibus Law jalan terus meski mendapat tentangan banyak pihak. Algoritmanya, seperti ‘mulut meriam makan tuan’, bila tidak segera diantisipasi, akumulasi kegeraman publik karena keadilan yang terusik itu bisa mencapai titik kulminasi.

Lagipula, sejarah menunjukkan bahwa dalam momentum yang tepat, bukan hil yang mustahal penguasa gulung tikar ketika krisis, di mana kegeraman secara kolektif bisa memantik sesuatu yang tak terduga. Tentu aparat akan mengalami kesulitan bekerja maksimal jika tidak didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Dengan kata lain, peristiwa dengan pola kasus serupa yang sebenarnya juga bukan satu-dua kali saja terjadi di Indonesia tersebut sekaligus sedikit menjelaskan, mengapa alokasi anggaran untuk institusi keamanan dari tahun ke tahun jumlahnya terus mengalami kenaikan.

Merespon peristiwa penangkapan itu, seorang profesor hukum yang sekaligus Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan di akun Twitter miliknya turut membagikan rekaman video Effendi Buhing yang bukan video pada saat penangkapan, melainkan video konfirmasi, dengan diberi keterangan tulisan typo di sana-sini:

“Ini video pernyataan Bohing. Ini sesuai dengan info POLRI bhw masalah tsb tdk ada kaitannya dgn pencaplokan tanah adat. Wah, tadi protesnya krn Buhing ditangkap saat mempertagankan tanah adat. Setelah dibantah diminta video banragnbys. Stlh diberi vidronya dibilang videonya mencurigakan, dibuat dlm tekanan, kok duduk di kursi mewah dll. Coba hubungi sendiri Buhing. Kan ada alamatnya (disertai tiga emoticon ketawa ngakak).”