Kartini dan Feminis Daftar Pustaka

Kartini adalah cara berpikir progresif, berbeda dengan reaksioner, apalagi “Isuk dele sore tempe”. Sosoknya disulap jadi mitos kolonial sebagai ikon dari liberalisme dan humanisme distorsif semasa politik etis, ketika negara kolonial tengah terjangkiti paradoks humanisme dan besar kepala lantaran sekolah Hindia yang didirikan atas ijinnya telah berhasil menciptakan perempuan berpikiran maju seperti Kartini. Sebuah pencapaian yang patut diapresiasi sekaligus dimutilasi dengan cara mengawinkannya.

Gagasan Kartini sedikit banyak diwarisi Sukarno lewat “Sarinah”, yang kemudian disalahartikan oleh kapitalisme rokok, teh dan industri lainnya untuk melakukan penghisapan tenaga kerja perempuan besar-besaran. Muncul problem baru: eksploitasi.

Dalam situasi semacam itulah timbul kesadaran di kalangan kaum perempuan untuk membangun infrastruktur politik demi menjamin dan melindungi hak-hak kaumnya, tak terkecuali hak untuk berpolitik. Apalagi mereka berada di tengah dominannya budaya patriarki republik yang baru seumur jagung.

Maka di tahun 1954 lahirlah Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI). Di masanya, hasrat berpolitik dan kehendak kaum perempuan untuk turut berpartisipasi dalam revolusi dapat tercermin dari keluwesan berbagai program yang dijalankannya. Dari mulai pemberantasan buta aksara, pendirian sekolah taman kanak-kanak berbiaya ringan bahkan sama sekali gratis bagi warga yang kurang mampu, yang mengingatkan kita pada metode Kartini. Maka tidak mengherankan bila dalam waktu singkat organisasi itu mengalami peningkatan jumlah keanggotaan yang begitu pesat. Bahkan ia juga telah mampu mengukirkan nama Indonesia di kancah internasional. Sejumlah wakilnya pun duduk di badan legislatif dari daerah hingga pusat – suatu hal yang bertolakbelakang dengan formasi politik hari ini, di mana untuk dapat kursi di parlemen, demokrasi perlu menyediakan kuota 30% bagi perempuan.

Sejak dikambinghitamkan oleh lawan politik pada tragedi 65, organisasi itu lenyap. Ikut menjadi tumbal kekuasaan. Orde Baru berdiri. Perempuan diasingkan dari kegiatan politik. Salah satunya dengan membentuk organisasi tandingan dan kelompok wanita seperti ibu-ibu PKK, kegiatan rutinan desa, arisan dan mencapai klimaks melalui edaran foto istri-istri anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang bergaya glamour menenteng tas seharga puluhan juta ketika berada di luar negeri. Sebuah tontonan yang tentu berkebalikan bila dibandingkan dengan pencapaian kaum perempuan setengah abad silam. Inilah kemenangan telak rezim patriarkis mengendalikan ruang politik perempuan.

Semua itu kemudian dijernihkan kembali oleh Pram melalui sebagian naskah yang hilang, “Panggil Aku Kartini Saja”, yang dilanjutkan oleh perjuangan ibu-ibu Rembang.

Hari ini, berbincang tentang perempuan akan terasa identik dengan kekerasan dan kecantikan. Bukan lagi politik. Sebab perbincangan politik perempuan telah lama dijauhkan dari pentas perpolitikan. Kecuali perempuan sepopuler Ibu Risma yang menjadi sumber daya bagi kelangsungan hidup partai politik itu sendiri. Adanya lembaga seperti Komisi Nasional Perempuan yang berpihak kepada kaum perempuan tentu berperan besar dalam mengusung wacana anti-kekerasan dan melindungi hak-hak yang sebelumnya terabaikan. Tetapi dengan konsentrasi anti-kekerasan yang terus-menerus diwacanakannya, dan setumpuk kasus yang mengantri untuk ditangani, ia juga sekaligus melokalisir perbincangan perempuan dari kemungkinan lain bagi munculnya ruang politik progresif. Menganggap perempuan sebagai agen pasif yang rentan menjadi korban dari rezim patriarki. Dalam hal ini, setiap gerak perempuan diandaikan sebagai obyek dari subyek yang lain dan bukan subyek bagi dirinya sendiri.

Maka tidak heran bila pada beberapa waktu yang lalu ketika sedang berlangsung aksi #dipasungsemen di Jakarta, ada sebagian kalangan yang kaget dan merasa perlu untuk mengkritisi kegiatan tersebut dengan argumentasi humanis liberal namun ahistoris. Misalnya mempersoalkan, “…Itu laki-lakinya pada kemana? Kenapa perempuan yang disuruh demo? Bagaimana seandainya ibu-ibu mereka yang kakinya disemen seperti itu?”. Kritik semacam itu akan dapat dipahami jika kita meletakkannya ke dalam konteks sejarah politik gender.

Lontaran pertanyaan di atas tidak datang dengan sendirinya. Ia berangkat dari gaya berpikir patriarki, yaitu anggapan dominan pada sistem pengetahuan masyarakat Indonesia yang memposisikan perempuan “idealnya berada di rumah, ndak usah ikut-ikut politik, karena seturut pemahamannya, politik adalah dunia maskulin” – atau dengan bahasa lain: menganggap tidak terdapat kata “politik” dalam kamus berpikir perempuan, karena “politik” adalah milik kaum laki-laki. Sementara di sisi lain, berlaku sebuah anggapan bahwa telah menjadi takdir bagi perempuan membereskan urusan “dapur, sumur, kasur” dan “macak, masak, manak”. Padahal jika dikembalikan lagi pada uraian di awal, ada pemahaman yang telah dengan sengaja dipotong oleh rezim sebelumnya tentang bagaimana melihat politik dan perempuan.

Di sinilah perlunya feminis literatur belajar dari ibu-ibu Rembang.

2 pemikiran pada “Kartini dan Feminis Daftar Pustaka

  1. Kecantikan adalah alat berpolitik wanita. Kalo kata mbah aristoteles politik sih gitu..
    Tapi ndak dibahas lebih jauh uhh

    Suka

Tinggalkan komentar