Menakar Nalar dari Sastra

Saya tidak begitu tahu sastra. Tapi selain pernah membaca Pramoedya Ananta Toer yang menulis: “Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai” – saya juga pernah menjumpai tulisan Jorge Luis Borges dalam esai pendeknya tentang sastra. Ia menulis, “Kesusastraan bukanlah sekedar permainan kata-kata; apa yang menjadi masalah adalah apa yang tak ternyatakan, atau apa yang mungkin dibaca di antara baris kata-kata”.

***

Mengamati fenomena sosial dewasa ini, saya heran, bagaimana mungkin orang bisa dengan mudahnya baku-cekcok lantaran simbol. Dari Yahudi sampai PKI. Dari konspirasi sampai konfigurasi (?!?). Tidak hanya berbagai elemen masyarakat saja yang mengalami gejala bernama histeria massal itu. Pihak aparat berwenang pun yang mestinya memiliki amunisi pengetahuan mumpuni untuk memberi penjelasan yang menentramkan justru larut meramaikan.

Untuk kesekian-kalinya media elektronik Tempo (26/12/16) meliput berita, Sabtu 24 Desember seorang pemuda yang sedang menghadiri pameran baju di Yogyakarta diperiksa lantaran menggunakan kaos berlogo seperti palu-aritnya komunis. Tidak persis. Hanya menyerupai saja. Kontan kejadian yang sambung-menyambung menjadi satu seperti gerbong kereta api itu mengingatkan pada pengalaman membaca beberapa novel yang sempat saya stabilo ketika membacanya. Seperti di bawah ini;

“Orang-orang dalam mabuk kemenangan. Segala-galanya di luar dugaannya dan mimpinya. Keberanian timbulnya sekonyong-konyong seperti ular dari belukar. Kepercayaan kepada diri sendiri dan cinta tanah air meluap seperti ruap bir. Pemakaian pikiran menjadi berkurang, orang-orang bertindak seperti binatang dan hasilnya memuaskan. Orang tidak banyak percaya lagi kepada Tuhan. Tuhan baru datang dan namanya macam-macam, bom, mitralyur, mortir.

Waktu beberapa orang Belanda-Indo berani menaikkan bendera putih biru di hotel Yamato, orang-orang Indonesia tercenggang-cenggang. Orang tercenggang bertambah banyak dan bertambah lama bertambah mendekati hotel itu. Tiba-tiba melompat seorang pemuda ke depan. Dipanjatnya tiang bendera, dirobeknya kain biru dari bendera itu. Orang-orang tercenggang bertepuk dan bersorak, tapi orang-orang Belanda Indo marah-marah. Bukan untuk dirobek mereka menaikkan bendera. Mereka terkenang kepada masa tiga setengah tahun yang lalu dan kepada ayah-ayahnya, Belanda betul-betul. Dan mereka merasa terhina seperti ayah-ayahnya sendiri ditelanjangi orang. Karena itu mereka marah-marah. Dan waktu itu marahnya menjelma pukulan dengan tinju, terjadi keributan, seperti dalam pilem cowboy-cowboy. Dan waktu pilem habis, datang mobil-mobil ambulance dan setelah berisi muatan, mobil-mobil ini berangkat pula. Sopir-sopirnya kelihatan sangat berhati-hati dan rodanya dan tangannya penuh darah. (Idrus, 1978: 119).”

Itu tulisan Idrus, bagian pembuka dari cerita pendeknya berjudul “Surabaya” yang terbit pada tahun 1947. Dua tahun setelah Sukarno membacakan proklamasi di Jalan Pegangsaan, tapi belum juga diakui oleh pihak Belanda.

Idrus sosok “anomali” di zamannya. HB Jassin menggelarinya sebagai pembaharu prosa, bersama Chairil Anwar yang merevolusi gaya puisi Indonesia. Majalah Tempo (19/05/2008) menulis, “Di novelet berjudul Surabaya, Idrus menjungkirbalikkan “kesakralan”.., Ia melukiskan pertempuran para pemuda melawan tentara Sekutu ibarat pertempuran antara para koboi dan bandit”.

Idrus memang tidak menulis bagaimana sepak-terjang pahlawan mengusir penjajah sebagaimana George M..Kahin menulis “Nasionalisme dan Revolusi Indonesia”, tapi bagaimana bandit tempur dengan bandit. Taktik bumi-hangus dinarasikan Idrus secara karikatural, heroik, namun juga sekaligus kenyang dengan ketololan. Jika ditemui ada yang memiliki pendapat berbeda dengan orang kebanyakan, langsung distempel frase sakti di jidatnya: “kontra-revolusi”. Walaupun jelas dalam cerpen itu Idrus sebetulnya sedang menampilkan sisi lain dari sekelompok orang yang gemar mengusap-usap kata “revolusi” sampai lupa daratan dan justru menebar senopobia.

Sebagai realitas historis, cerita “Surabaya” bukanlah sekedar buah dari imajinasi. Karena penggambaran itu juga tampak pada reportase wartawan kawakan bernama Kwee Thiam Tjing alias Tjamboek Berdoeri di Malang-Surabaya tahun 1942-1947. Kwee menyebut pembuat onar dalam perjuangan itu sebagai Djamino dan Djoliteng. Katanya, “..marika itoe di zaman revolutie mendjadi pemboenoeh, toekang perkosa, toekang bakar roemah pendoedoek jang tida berdosa, toekang sembeleh korban-korbannja jang majit-majitnja kamoedian ditoewangin benzine boeat dibakar! (Tjamboek Berdoeri, 2004: 292).

Dari sini, kita bisa mengajukan pertanyaan sisipan kepada para penyusun kurikulum sejarah. Mengapa Petite Historie yang model seperti ini tidak pernah dicantumkan di buku-buku pelajaran? Mengapa yang ditonjolkan selalu sisi heroiknya saja? Kalau saja diajarkan, barangkali “Manusia Indonesia” generasi kekinian dapat menyikapi nasionalisme secara proporsional, dengan kepala dingin, bahwa sikap atau tindakan yang mengatasnamakan kemerdekaan selain memberi kesan heroik, juga rentan bablas jadi cauvinis.

Coba kita bandingkan situasi yang terjadi di tahun 1947 dalam cerita “Surabaya” dengan fenomena beberapa tahun belakangan. Maraknya ternak teroris, pembubaran diskusi, aksi mendesak penurunan poster karena ada gambar menyinggung penganut kepercayaan tertentu, sebaran berita hoax, aksi boikot roti, membuat saya jadi ingat Mochtar Lubis.

Ada dua peristiwa yang hampir sama antara “Surabaya” dengan cerita Mochtar Lubis yang terbit tahun 1952 berjudul “Jalan Tak Ada Ujung”. Dikisahkan pada masa itu, kelompok preman yang bergabung menjadi gerilyawan menebar ketakutan.

“…Dua perempuan Tionghoa. Seorang ibu dan anaknya. Berumur kira-kira enam belas tahun. Lewat di kampung itu. Terus disiapkan. Dikira mata-mata musuh. Dirampas semua uang dan perhiasan yang mereka bawa. Aku tidak berdaya. Semua orang kampung itu telah memutuskan mereka mata-mata musuh dengan tidak diperiksa lebih lanjut. Diseret ke kebun kelapa itu. Dan Otong yang memotong mereka dengan goloknya dekat sumur (Mochtar Lubis, 2016: 85).”

Saya tidak bermaksud mengarahkan asosiasi pembaca ke tragedi Mei 98 atau tragedi lain. Tetapi memang itulah cerita yang ditulis Mochtar Lubis. Demikian pula dengan “Surabaya”-nya Idrus. Seorang perempuan muda yang sedang ke pasar, dihampiri oleh seorang pemuda dengan revolver di pinggang dan pisau belati di tangan. Pemuda itu menyuruh si perempuan untuk mengikutinya.

“Tiba-tiba seorang pemuda berkata, “Mata-mata musuh, ya?”

Keheranan perempuan muda itu bertambah-tambah. Ia ingin hendak menjawab dengan beberapa perkataan, tapi mulutnya seperti terkunci karena ketakutan. Digelengkannya saja kepalanya, seperti kuda menghalau lalat dari tengkuknya. Dan sesudah menggeleng itu ia tersenyum. Melihat senyum itu, pemuda-pemuda bertambah marah dan keras-keras katanya, “Hendak dibujuknya kita dengan senyum manisnya! Ya, begitu caranya selalu, selalu begitu. Hm, selendang merah, baju putih dan selop biru, he. Dikiranya kita tidak tahu cara-caranya.”

Muka perempuan muda itu bertambah putih. Baru ia tahu sekarang, mengapa ia dianggap mata-mata musuh. Berturut-turut dilihatnya selendangnya, bajunya dan waktu itu ia menekur hendak melihat selopnya, ia dipukul dari belakang. Ia terjatuh ke atas tanah. Hidungnya berdarah. Beberapa pukulan lain tiba di bagian badannya yang lain. Maki-makian memenuhi udara. Tiba-tiba seorang pemuda berkata terkejut, “Saudara-saudara, berhenti memukul! Kita salah, kita salah. Selopnya bukan biru tapi hitam.”

Beberapa orang menundakan pemuda yang berteriak itu ke samping dan kata mereka, “Tutup mulutmu, Parman! Engkau buta warna.”

Dan waktu mereka hendak meneruskan memukul, datang polisi ke tempat itu bersenjata lengkap. Pemuda-pemuda bersikap seperti tak tahu apa-apa. Polisi membawa beberapa pemuda ke seksinya dan perempuan yang setengah mati itu ke rumah sakit. Waktu ia sadarkan diri, katanya kepada seorang juru rawat, “Aku telah memaafkan mereka. Mereka muda-muda dan berjuang untuk Tanah Air.” (Idrus, 1978: 130-132).

Humor legam tentang reaksi beringas yang terjadi hanya karena melihat komposisi warna pakaian merah-putih-biru yang dikenakan oleh perempuan itu tidak hanya ada di cerpen Idrus, tapi juga di Mochtar Lubis. Melalui seorang tokoh yang menulis surat, “Jalan Tak Ada Ujung” itu berkisah;

“Aku hendak ceritakan padamu sebuah pembunuhan yang sia-sia, kejam, tiada beralasan. Tidak ubahnya sebagai engkau menjentik semut yang lalu, dan semut itu engkau matikan. Begitu saja. Seorang pedagang kampung. Aku tidak tahu namanya. Dia datang dari Jakarta membawa bungkusan kain-kain kemeja, kemeja kaos. Pedagang kecil kampung biasa. Di Bekasi dia ditahan. Diturunkan dari kereta api. Dibawa ke markas sebuah laskar. Di sana barang dagangannya diperiksa. Kedapatan sehelai handuk yang pinggiran mereknya berwarna merah-putih-biru. Malamnya dia dipotong. Begitu saja.., Kita ketakutan pada diri sendiri. Semua orang dicurigai menjadi mata-mata musuh (Mochtar Lubis, 2016: 98).”

Ya, meski sudah setengah abad lebih sejak kisah-kisah di atas nongol di permukaan bumi, tetapi apa yang terjadi dewasa ini justru mengingatkan pada kisah-kisah tersebut. Kisah-kisah yang pernah saya stabilo. Wajah Indonesia yang konstan. Konsisten dalam kesulitannya mengenali liyan.