Sejarah Indonesia Modern ala Pram

Pada tanggal 16 Juni 2016, Ariel Heryanto menulis di status facebook-nya.

“Ilmu dan pengetahuan memang mahal. Tetapi dana hanya sebagian kecil dari prasyarat untuk membina ilmu dan pengetahuan. Sama sekali bukan jaminan. Ini contohnya. Tahun 1964, Pramoedya Ananta Toer memberikan kuliah yang kemudian menjadi terkenal tentang “Sejarah Modern Indonesia” di Universitas Res Publica. Ini terjadi sebelum penceramahnya dibuang 10 tahun dan dijadikan budak di Pulau Buru. Dan sebelum Universitas Res Publica yang didirikan oleh Baperki (Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia) diambil-alih (dijarah?) Orde Baru dan dijadikan Universitas Trisakti. Pidato yang disampaikan dengan bersemangat ini, disusun Pramoedya dengan tergesa-gesa di mesin ketik manual. Kemungkinan besar, pengarangnya tidak mendapatkan honor. Teks kuliah Pramoedya ini mungkin sudah tidak ada atau sangat sulit dicari di perpustakaan di Indonesia. Saya tidak menemukan judulnya di katalog Perpustakaan Nasional. Untunglah di dunia ada sebuah masyarakat yang mengabadikannya. Bahan bersejarah ini tersedia di Perpustakaan Universitas Leiden…”.

Dengan menyertakan link katalog berikut beserta keterangan biaya 11 Euro/halaman, atau sekitar Rp.14.040.952 jika naskah itu dipindai ke dalam format softfile agar dapat diakses, Ariel bertanya: Apa ini tidak mirip dengan uang saku mahasiswa Indonesia selama setahun? Pertanyaan itu sekaligus membuat saya membatin, betapa tololnya sebuah rezim memperlakukan hasil olah pengetahuan anak bangsa sendiri, hingga membuat generasi hari ini harus menebus ketololannya untuk dapat mengakses naskah itu.

Belum genap dua minggu sejak ia membagikan pengetahuan tentang naskah itu, sebuah pesan whatsapp masuk di grup kawan-kawan Antropologi UGM di hape saya. Salah seorang teman mengirimkan link download file Pram yang seharga empat belas juta rupiah itu, dengan keterangan: “yang belum baca tulisan Pram yg sempat ilang, sedjarah modern indonesia,,,”.

Tentu saja saya senang sekali mendapatkan file yang semula hanya angen-angen itu. Pastinya saya adalah salah satu dari puluhan atau ratusan orang yang mungkin juga merasakan hal yang sama karena mendapat kesempatan membaca naskah Pram. Apalagi tanpa harus merogoh kocek belasan juta yang berada jauh di luar isi dompet. Oleh karena itu saya ingin menyampaikan terima kasih kepada siapa saja yang telah berkenan berbagi, mungkin kepada kawan di Belanda sana, yang langsung mengusahakan agar naskah itu dapat dibaca umum, memindainya ke dalam format softfile, mengirimkannya ke kawan-kawan di Indonesia, disebar secara berantai, hingga sampai di hape saya dalam bentuk pesan whatsapp yang siap download.

***

Dalam tulisan ini, saya tertarik untuk mendaur-ulang bagian awal dari isi makalah itu.

Sebelum masuk ke inti pembahasan, Pram dalam Sedjarah Modern Indonesia secara sistematis menguraikan latar belakang tentang apa yang dimaksudkannya sebagai Sejarah Modern Indonesia, atau Sejarah Indonesia Modern.

Tiga suku kata yang terdapat di judul makalahnya itu menurut Pram memiliki riwayatnya sendiri-sendiri. Dimulai dari apa yang dimaksud sebagai Sejarah. Baginya, dan mungkin juga bagi para peminat ilmu sejarah, sebagai sebuah disiplin keilmuan “Sejarah” adalah barang baru. Diperkenalkan oleh sistem pendidikan Barat, melalui sekolah formal bikinan kolonial.

Akan tetapi dengan begitu tidak berarti kemudian sebelum Ilmu sejarah diperkenalkan, Indonesia tidak memiliki sejarah. Masyarakat Indonesia telah punya sejarah, baik yang diwariskan melalui peninggalan berupa kitab-kitab atau prasasti dan relief di candi-candi, maupun di masyarakat yang mewariskan sejarahnya melalui tradisi pelisanan.

Statemen awal ini, atau cara Pram dalam memandang apa itu sejarah, mengingatkan saya pada kuliah umum yang pernah disampaikan oleh guru saya dulu, yang isinya nyaris sama persis. Ia adalah lulusan Leiden, di mana arsip-arsip masa-lalu tentang bumi jajahan termasuk Nusantara diperlakukan dengan baik di sana. Saya curiga guru saya itu telah lebih dulu membaca naskah Pram sewaktu jaman kuliah di Belanda dulu (kapan-kapan kalau ketemu saya akan bertanya pada yang bersangkutan), atau kalau tidak, memang demikianlah salah satu mahzab ilmu sejarah yang dikembangkan di sana.

Andaikata begitu, maka dapat ditimbang sendiri, jika diukur dalam konteks tahun 60’an – yaitu saat perspektif poskolonial ala Edward Said belum nongol-nongolnya, betapa awas pandangan Pram dalam memposisikan sejarah sebagai ilmu, yang tak terjebak pada gaya Neerlandosentris, yakni historiografi yang menganggap bahwa sejarah Indonesia baru ada dan selalu bertaut dengan kolonial, sampai seolah-olah tidak ada sejarah di luar itu.

Setelah menguraikan perihal sejarah, Pram beranjak menjelaskan satu-persatu apa yang dimaksud dengan kata “Modern” dan “Indonesia”. Bagi Pram, Modernisme adalah perwujudan dari pandangan dan sikap modern, yang berasal dari perkembangan ekonomi, sosial, kebudayaan dan politik yang meninggalkan feodalisme dan memasuki liberalisme. Modernisme, dengan tegas ia nyatakan, “adalah produk daripada kapitalisme”.

Sementara, tentang apa itu “Indonesia” sendiri, bagi Pram, mulanya kata itu dipergunakan oleh peneliti Inggris dan Jerman untuk menunjuk suatu wilayah secara geografis. Telaah ini simetris dengan informasi yang dihimpun Simon Phillpot dalam disertasinya puluhan tahun kemudian yang dibukukan dalam judul “Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity”.

Indonesia sebagai istilah geografi itulah yang selanjutnya diadopsi secara hukum, dan kemudian bergeser menjadi lebih politis ketika sampai di tangan Bumiputera.

Melalui studi kepustakaan, dengan detail Pram menguraikan asal-usul kata Indonesia ini, sebagaimana dinyatakan olehnya, “Bagi kaum sana istilah Indonesia telah menjadi kata jang mengerikan, karena pada hakekatnja istilah itu mengandung ide jang revolusioner”.

Dalam menjelaskan kata “Indonesia”, Pram juga melakukan ‘pengawalan ketat’ terhadap riwayat perjalanan nama yang semula hanya tertera dalam artikel-artikel ilmiah itu. Terlihat dari studi pustakanya yang dengan rapat mendaftar judul karangan dari tahun 1850 sampai 1958 – ketika Koentjaraningrat dengan mengutip Fischer, menyinggung kembali peristilahan Indonesia dalam tulisannya “Beberapa Metode Antropologi dalam Penyelidikan2 Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia”.

***

Andaikata benar sebagaimana dikisahkan Ariel Heryanto, bahwa naskah itu diketik secara tergesa-gesa dan besar kemungkinan pengarangnya tidak mendapatkan honor, saya jadi membayangkan apa jadinya jika naskah itu diketik dengan tidak tergesa-gesa?

Untuk sedikit mengetahui pandangan Pram sendiri tentang posisinya di hadapan sejarah, mungkin kita dapat menelusuri pada tulisannya yang lain. Dalam artikel berjudul “Maaf atas Nama Pengalaman”, terdapat beberapa kalimat yang menjelaskan perihal kedekatan dirinya dengan wacana sejarah. Demikian tuturnya:

“Sekiranya dahulu aku terdidik suatu disiplin ilmu, misalnya ilmu sejarah, aku akan lakukan penelitian yang akan menjawab: mengapa semua ini terjadi dan terus terjadi. Tetapi aku seorang pengarang dan pendidikan minim, jadi bukan materi-materi historis yang kukaji, tetapi semangat-semangatnya, yang kumulai dengan tetralogi Bumi Manusia, khusus menggarap arus-arus datang dan pergi dalam periode Kebangkitan Nasional Indonesia..”

Apa yang dimaksud Pram dengan “mengapa semua ini terjadi dan terus terjadi” itu bermula dari uraian panjang yang dia tulis dalam paragraf-paragraf sebelumnya tentang pertumpahan darah saudara sebangsa sendiri yang ia metaforakan dalam perjalanan Empu Gandring, artinya berabad-abad sebelum para petualang dari benua lain menguasai jalur perdagangan maritim, sampai-sampai mewariskan dengan baik sistem administrasinya di negara baru kelak pada kemudian hari. Menurut saya di sinilah dengan ketajamannya itu, ia mampu lolos dari corak berpikir Neerlandosentris dalam memandang sejarah.

Pikir saya, jika tanpa pengalamannya secara langsung dengan disiplin ilmu sejarah saja ketajaman Pram dalam mengurai masa lalu secanggih itu – hingga membuatnya menjadi pengajar di Kampus Res Publica dan menyajikan materi kuliah tentang Sejarah Indonesia Modern, apalagi jika ia ditempa dalam disiplin keilmuan seperti Sartono Kartodirdjo, sejarawan Indonesia pertama yang menyabet gelar doktor sekaligus merintis metode baru dalam penulisan sejarah itu?

Ah, lebih baik saya selesaikan dulu membaca tulisannya.

*Sedikit koreksi. Sebelum Sartono Kartodirdjo, sudah ada Hoesein Djajadiningrat, adik dari Pangeran Achmad Djajadiningrat, yang telah lebih dulu mempertahankan disertasinya di Belanda, berjudul “Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten” (Pandangan Kritis Mengenai Sejarah Banten). Tapi itu berlangsung tahun 1913, artinya ketika Indonesia sebagai sebuah negara belum eksis.